Advertisement

Guru - Profesionalisme dan Idealisme


Mungkin saya termasuk dari sekian banyak orang yang beruntung.

Saya tumbuh dan belajar pada masa dimana pendidikan belum menjadi komoditi atau istilah sekarangnya Komersialisasi pendidikan. Walaupun dengan faslitas pendidikan yang serba kekurangan, tapi dunia belajar dimasa saya bukanlah dunia bisnis. Dunia pendidikan dimasa itu adalah dunia pengabdian dan idealisme. Mungkin, potret para guru pada masa saya sekolah ini yang coba direkam oleh penyanyi Iwan fals dalam lagunya “Oemar Bakri”

Tapi itu dulu…..dulu sekali.....
Beda dulu, beda sekarang. Pola fikir bahwa dunia profesi seorang guru adalah seorang pendidik yang patut untuk Digugu dan Ditiru menurut pandangan saya pribadi kian hari kian memudar, atau bahkan sudah hilang sama sekali. Sosok guru yang dengan penuh keikhlasan mengabdikan dirinya untuk mendidik dan mengajar seolah bagaikan sosok mitos yang hanya ada dalam cerita fiksi.
Saya teringat masa lalu saya yang dibesarkan dilingkungan pemukiman Transmigrasi. Ya, saya memulai dan menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diwilayah Transmigrasi. Yah, begitulah gambaran tentang wilayah pemukiman Transmigran, tidak jauh dari gambaran orang kebanyakan. Kehidupan yang jauh dari kemudahan fasilitas kota, dan kesibukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Jangankan bayangkan sekolah kami waktu itu memiliki fasilitas semacam laboratorium, itu terlalu mewah dan jauh dari angan-angan kami. Bahkan untuk bersepatu setiap hari senin orang tua kami harus menempuh 24 Kilometer dengan berjalan kaki hanya untuk membilkan anak-anaknya sepasang sepatu. Apalagi tas sekolah dengan model dan gambar tokoh super hero, sungguh bukanlah hal yang umum dtempat dan masa saya waktu itu.

Sekarang saya adalah orang Kota. Saya tinggal diKota Depok, Jawa Barat dan menceburkan diri dalam upaya bertahan hidup ala oraang kota.
Suatu ketika, saya sempat mendengar obrolan dua orang rekan guru disebuah Angkutan Kota. Salah seorang dari dua orang tersebut menanyakan kepada rekannya, mengapa ia terlihat malas dalam pekerjaannya mengajar? Dan jawaban yang ditanya sungguh membuat hati saya sedih.”Honor cuma sejuta ya wajarlah saya kerja juga asal, yang penting jam pelajaran saya datang”

Sungguh, bukan hanya jawaban itu saja yang membuat hati saya sedih, tapi karena betapa seringnya saya mendengar jawaban yang senada dari rekan-rekan pendidik lainnya. Jadi inilah permasalahan sebenarnya. Ini adalah kenyataan yang bukan untuk dibantah, akan tetapi dicari penyelesaiannya.

Dimasa dan tempat saya sekolah dulu, orang tua saya mungkin juga termasuk beruntung. Karena mereka mungkin tidak terlalu terbebani oleh SPP yang wajib dibayar setiap bulan. Yang mungkin  saja jika pembayaran SPP terlambat, maka hak anak mereka yang belajar disekolah tersebut akan terhambat atau bahkan mungkin dikeluarkan dari sekolah. Ini tidak terjadi pada masa dan tempat saya sekolah dulu. Para guru disekolah saya dulu menerima honor atau gaji atau apapun istilahnya hanya sekedar kerelaan dari para wali murid dan perangkat Pemerintahan dimana mereka tinggal.

Banyak? Percayalah, itu sangat sedikit bahkan untuk ukuran masa itu! Darimana saya tahu hal itu? Karena saya seringkali bersama dengan guru-guru saya bekerja dikebun milik orang lain atau milik Perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan anak-istrinya. Lalu apa yang mereka dapat dari menjadi guru dipedalaman hutan tersebut? Cuma 2, Pahala dan harapan untuk mendapatkan pensiun apabila diangkat menjadi PNS. Hanya itu. Untuk guru-guru disekolah formal barangkali 2 hal tersebut mungkin terwujud, tergantung dari relasi dan perkembangan pembangunan Desa yang mereka tinggali. Tapi untuk para guru ngaji, ustdaz,mubaligh? Yang mereka terima cuma Pahala dan beberapa botol minyak tanah setiap Sabtu sore!
Dan sekitar 9 tahun saya belajar dari para ustadz dan para guru tersebut, belum pernah sekalipun saya dipanggil dan ditanya tentang keterlambatan saya menyerahkan beras, atau mengapa saya tidak membawa minyak tanah. Bahkan ketika saya menyampaikan permintaan maaf karena belum dapat menyerahkan sumbangan-sumbangan tersebut, MEREKA  SEMUA (Mereka semua yaitu semua ustadz dan semua guru) hanya akan menjawab dengan senyum keikhlashan seraya berkata,” Nggak apa-apa”

Bagaimana dengan kondisi sekarang?
Ditempat dan waktu yang berbeda. Kondisi dimana saya dituntut untuk menjadikan setiap anak yang saya didik menjadi yang terbaik? Sementara disisi lain, saya juga membutuhkan penghasilan untuk keluarga saya? Tentu dengan mudah saya akan mengajukan penawaran dan menentukan harga untuk jasa saya. Alasannya tentu saja, profesionalisme. Sebagai professional, guru memiliki standar hasil kerja dan juga standar harga. Jadi, saya akan menentukan berapa saya harus dibayar untuk menjadikan anak-anak mereka berprestasi. Sebuah logika sederhana. Benarkah?

Sungguh, seandainya saya bisa melakukan itu tentu akan sangat mudah. Semua pihak mengerti, semua orang bisa memahami bila hal itu saya lakukan. Tidak akan ada masalah.

Tapi sungguh, apabila hal itu saya lakukan saya akan sangat malu pad ustadz-ustadz saya, dan pada guru-guru saya!
Saya dapatkan apa yang saya miliki sekarang dengan gratis, lalu saya menjualnya?
Mungkin ada yang mengatakan,”Tapi saya susah payah belajar dulu. Berjalan kaki sejauh 8 Kilo meter, menempuh panas siang dan gelapnya malam serta hujan, jadi saya pantas meminta upah dari semua jerih payah saya dulu”.

Ya, dulu perjuangan saya. Tapi bagaimanakah ustadz-ustadz saya dulu, guru-guru saya dulu mendapatkan ilmu yang mereka ajarkan pada saya?

Saya tidak mengatakan haramnya meminta upah atau penghasilan dari mengajar. Tidak sama sekali! Silahkan, penghasilan itu hak Anda.

Tulisan ini hanya mengingatkan diri saya sendiri untuk berusaha semampu saya, untuk memudahkan anak-anak didik saya untuk belajar dan menjadi yang terbaik kelak.

Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bagi saya tentang siapa saya......

Posting Komentar

0 Komentar